Emha Ainun Najib (dari Nasionalisme Muhammad, Sippress Yogya, 1985)
Bahwa Muhammad orang Arab, itu sekedar `administrasi` Allah dalam
penciptaan drama kehidupan yang aneh-aneh ini What the hell is Arabian
or Madura-ness! Ia didatangkan untuk dijadikan agen rahmatan lil alamin,
anugerah bagi seluruh alam.
Bahwa Muhammad seorang Nabi dan Rasul, itu juga Cuma dapukan
birokratik, ditugasi membawa amanah keselamatan, dengan juklak tertentu,
misalnya “bilhikmatiwa- Imau`idlati- Ihasanah”.
Amat penting memperhatikan Muhammad sebagai manusia. Ia bukan nabi-tiban. Nabi karbitan atau nabi mendadak: proses dari maqam Muhammad-manusia menuju Muhammad-Nabi ia tempuh dengan cara yang sama persis seperti manusia siapa saja. Ia berjuang untuk jujur, tekun, bersih, kerja keras, sehingga dijuluki Al-Amin. Ia terlibat sosial, kontemplatif, bertanya, mempertanyakan, mengembangkan wawasan-wawasan tentang persoalan masyarakat di sekitarnya. Sampai usia 40 tahun, wawasannya masih kurang, sehingga Tuhan bilang: “Iqra. Bacalah. Baca apa? Qur`an? Qur`an belum ada, baru beberapa ayat pertama. Jadi bacalah problem disekitarmu. Muhammad pun membaca. Hasilnya bukan ini Arab itu non Arab, melainkan itu jahiliyyah ini Islam, itu kebodohan, ini ilmu. Itu penindasan, itu perlawanan untuk keadilan. Itu patronage, ini tauhid. Itu superioritas- inferioritas, ini kesamaan manusia di hadapan Allah. Ini monopoli, ini distribusi. Itu kekuasaan atas manusia, ini pengabdian manusia kepada Allah langsung dan lewat sesama. Itu eksistensialisme (ha-ana-dza! ) Jahal-Lahab, ini tawadlu’. Itu hidup untuk makan, ini makan untuk hidup. Itu akumulasi dan kerakusan, ini “yang kupunya tinggal Allah”. Itu dominasi, ini sumeleh, Islam.
Semua pengetahuan tentang nilai alternatif itu tidak datang
‘gratisan’ dari Tuhan, melainkan ‘dibeli’ olehnya dengan laku yang
panjang dan sakit. Muhammad frustasi bertahun-tahun sendirian di tengah
jaman edan yang bisa menikamkan pedang kapan saja ke perutnya. Ia
sendirian merenung di Gua Hira, karena beum ada sarasehan NGO. Muhammad
bersujud beratus kali lebih lama dari manusia lain, berpuasa lebih
lapar, belajar tanpa buku, otodidak teladan. Itu semua tidak untuk
cita-cita ke Araban, melainkan kemanusiaan dalam keIlahian. Tidak untuk
obsesi “Arab Uber alles”, melainkan internasionalisme dan
universalisme.
Sesudah menggarap kepribadian seperti demikian Islam yang
pertama-tama merupakan anjuran tentang kepribadian manusia baru
Muhammad pergi bergerilya. Qur’an memuat pokok-pokok ajaran syiar,
Muhammad mengkreatifinya dengan menggali dan mengembangkan
metode-metode perubahan sosial, perubahan masyarakat, perubahan
sejarah. Diterapkannya metode sirri¸jahri, usaha-usaha konsientisasi
yang nonstop di tengah pedang-pedang mengancam, organisasi dan
koperasi, mengenali persis setiap entry-point sosio-kultural,
menerapkan konsep hijrah, serta segala sesuatu yang menurut Simon Hate
begitu relevan dan kontekstualnya untuk dikerjakan oleh kaum marginal
di Dunia Ketiga dewasa ini.
Dan sesudah ia berhasil total merombak sejarah lingkungannya dalam
waktu yang teramat singkat apalagi menurut takaran periode sejarah
ketika itu yang tanpa komputer dan tanpa grand dan foundation manapun
Muhammad tidak ‘menguasai’ apa yang dihasilkannya. Muhammad tidak
bertengger di singgasana Bapak Pembangunan Arab, tidak memonopoli
perdagangan ke Syam, tidak punya perusahaan, dan tidak merancang
sebutir pasir pun buat makamnya. Muhammad tetap melanjutkan perjuangan
untuk menjadi pribadi yang kuat dalam keimanan, kuat terhadap lapar dan
haus, kuat memberikan apapun kepada keluarganya, kuat dalam berpakaian
dan berharta pas-pasan, kuat dalam mempertahankan sifat mulia, jujur
bersahaja dan terpercaya.
Ia seorang rakyat yang bersedia cancut dan terluka, kehidupan
materiilnya sama sekali tak berbeda dengan tetangga-tetanggany a
yangmiskin, seorang pekerjakeras dan pekerja kasar, sekaligus pemikir
dan perenung, seorang yang tenggelam bersama orang banyak, sekaligus
seorang sufi yang frekwensi ibadatnya tak alang kepalang. Hari itu,
karena tak ada kurma atau roti sekeratpun, maka ia mengajak Aisyah
berpuasa. Muhammad lantas bersembahyang, berdzikir, beristighfar,
seharian. Namun menjelang sore ian kecapaian, dan tertidut di bawah
pohon kurma, di atas sesobek daun yang membuat pipinya tergires-gores.
Ibnu Mas’ud melintas dan terbengong. “Ini orang menguasai seluruh
jazirah Arab, tapi hidupnya seperti ini.”
Ibnu Mas’ud bermaksud mengambilkan bantal, dan Muhammad menjawab,
“Apa yang bisa diperbuat oleh bantal? Aku ini musafir di tengah padang
pasir yang panas. Aku menjumpai sebuah pohon rindang, dan karena aku
letih, aku berteduh dan istirahat. Nanti kulanjutkan perjalanan untuk
menemui Tuhanku”.
Jika segala nilai hidup, segala konsep dan isme, digali dan dikelola
oleh manusia (:kualitas kepribadiannya) , maka komitmen kebangsaan
Muhammad bukan saja tidak dibatasi oleh ras dan geografi, bukan saja
meluas ke pembelaan atas kaum tertindas sebagai sebuah ‘ bangsa’
tersendiri, namun bahkan juga bersih dari kehendak kekuasaan dan napsu
ekonomi yang berlebihan. Muhammad tidak mendirikan Negara Arab atau
Negara Islam yang memaksa setiap warganya untuk beragama Islam,
melainkan menyebarkan berita keselamatan, memperjuangkan keselamatan
kemanusiaan, dengan tetap memelihara hak setiap manusia dalam “laa
ikraha fiddin”. Muhammad tidak membebaskan budak-budak untuk menjadi
juragan baru, apalagi atas kesatuan Negeri Arab, atas nama pembangunan
post-Jahiliyyah yang dilaksanakan dengan korupsi nilai dan harta-harta
alam.
Dengan mengemukakan faktor=faktor yang menyangkut kepribadian
Muhammad, saya sebenarnya ingin boleh berpendapat bahwa yang perlu kita
lakukan bukan sekedar usaha reproporsionalisasi pengertian dan
penerapan nasionalisme. Lebih dari itu, kita amat butuh mempersoalkan
‘rongga dada’ kemanusiaan dari mana dan ke mana nasionalisme dikelola.
Berdasar paparan di atas bisa kita sebut bahwa, di Indonesia, hikmah
nasionalisme (:Muhammad) yang semacam itu seolah-oleh ditolak oleh
Ummat Islam sendiri. Baik oleh bagian Kaum Muslimin yang menjadi
penyelenggara dan pendukung nasionalisme negara (yang sudah distorted)
Indonesia, maupun oleh baian lain dari Kaum Muslimin yang terjebak oleh
eksklusivisme, puritanisme dan formalisme kebangsaan. Sudah pasti hal
itu disebabkan oleh, misalnya, berbagai ketidaksetiaan Ummat Islam atas
Islam sendiri secara makra; oleh hasil pergumulan Jawa dengan Islam
dalam peta sejarah politik dan kebudayaan Indonesia, dst. Tetapi ada
sebab khusus yang barangkali dapat lebih kita lacak.
Ialah bahwa sesudah Wali Sanga, Kaum Muslimin Indonesia hampir tidak
pernah lagi memiliki tokoh-tokoh yang memiliki kualitas dan
kepribadian yang katakanlah-mampu merangkum dua dimensi keulamaan
sekaligus: Keulamaan Fiqih dan Keulamaan Tasawwuf. Para Wali di jaman
awal pertumbuhan Islam di nusantara itu memiliki dua kecenderungan itu
sekaligus sehingga membawa mereka untuk tidak sekedar menjadi pemimpin
penerapan sistem budaya Islam (:Syariat, thariqat), namun juga
menampilkan sosok mereka sebagai negarawan, pemimpin dan rohaniawan
dengan sepak terjang lebih universal dan mendalam.
Tokoh-tokoh Islam sesudah itu ibarat “burung dengan satu sayap”:
para Ulama Fiqih membawa Ummatnya menjumudkan kehidupannya dengan hanya
berkutat pada tradisionalisasi syariat sebatas ‘tulang tubuhnya’,
tanpa terobosan thariqot-sosial yang terus menerus diaktualisir, dan
kemudian dalam prosesnya bangunan syariat kebudayaan hidup Islam itu
dicairkan, digusur dan dilunturkan oleh syariat-negara, baik di jaman
’Mataram Tradisional’ maupun di jaman ‘Mataram modern’ dewasa ini.
Sementara itu para Ulama Tasawwuf betul-betul menjadi ulama Zawiyyah
(terpojok, tertepikan, marginal) yang berkembang eksklusif dan
eskapistik karena kegagalannya memelihira kontak dengan tali-tali
kepemimpinan rohaniahnya atas mekanisme masyarakat, bangsa dan negara.
Maka kemudian terjadilah “Al Islamu mahjubun bil-Muslimin” . Islam
ditutupi, dihalangi, ditolak, oleh Kaum Muslimin sendiri. Islam menjadi
benda asing bagi pemeluk-pemeluknya sendiri. Muhammad pernah
mengemukakan, “Islam itu dimulai dari keasingan, ditengah perjalanannya
ia kan temui lagi keasingan demi keasingan. Namun beruntunglah siapa
saja yang menjumpai dirinya sebagai pengembara yang terasing oleh
lingkungannya. Karena dengan demikian ia berada di suatu jarak yang
mampu menilai kerusakan lingkungannya itu dan mengishlahnya” .
Siapa atau apakah ‘Islam yang asing’ itu hari ini? Amat luas
jawabannya. Namun saat sini saya ingat tentang kemungkinan remodifikasi
fungsi para Wali Sanga. Baiklah mungkin tak bisa kita ‘lahirkan’
person-person sekualitas Wali Sanga: maka barangkali masih mungkin
diusahakan rintisan fungsi-fungsinya secara impersonal, secara
organisasional. Wali Sanga itu, secara kultural, mungkin lebih ‘dekat’
dengan kita dibanding Muhammad yang jelas-jelas orang Arab, dan yang
terkadang secara aneh-subyektif kita curigai itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar