selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal Aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. mari kita galang silaturahim untuk meyatukan gagasan demi kemajuan prenduan . hanya itulah bentuk terima kasih bagi tanah kelahiran yang telah membesarkan kita

23 Agustus 2011

MEMPERTANYAKAN KESOLEHAN SOSIAL KITA

Oleh : Mohammad Rusli Djamik *
"Saya menemukan 'Islam' di negara-negara barat namun tidak bertuhan, sebaliknya, saya tidak menemukan 'Islam' di negara-negara Islam, meskipun bertuhan"

Semasa hidup, almarhum Nurcholis Madjid (Cak Nur) pernah mengungkapkan keprihatinannya tentang tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kehidupan sosial umat.
Dikatakan bahwa "Islam adalah agama kemanusiaan terbuka ... maka umat Islam harus kembali percaya sepenuhnya pada kemanusiaan. Jangan dikira Tuhan tidak marah, melihat kemiskinan, ketertindasan, ketidak- adilan, penderitaan terjadi di sekitar kita".
Membaca tulisan itu, saya sejenak merenung, bagaimana mungkin Cak Nur yang tokoh agama, cukup berani, berkata bahwa kita harus "percaya pada kemanusiaan". Mengapa ? Tak lazim di kalangan agama bicara seperti itu. Beliau tegaskan, bahwa iman kepada Allah yang tidak disertai sikap positif terhadap manusia belum beriman dalam arti yang sebenarnya. Lantas muncul pertanyaan, apa kaitannya Tuhan dengan kemiskinan dan ketidakadilan ? Bagaimana Tuhan bisa marah melihat prilaku kita membiarkan penderitaan busung lapar, gizi buruk terjadi ?.

Agama Humanis
Dalam perspektif ilmu sosial, pikiran Cak Nur, nyaris mirip gagasan sosiologis humanitis-nya Peter L. Berger. Sosiologi yang biasanya identik dengan data empirik, serius, kaku, ditangan Berger, menjelma jadi sosiologi yang lebih manusiawi, sosiologi senyum. Misalnya, cara beragama selalu menampilkan wajah senyum, santun dan damai, bukan sebaliknya.Cak Nur tergolong penganut kaum humanis, yang memandang agama selalu menekankan dimensi kemanusiaan atau antroposentrik. Jadi beragama sangat terkait erat dengan kepedulian kita kepada lingkungan sekitar.
Membaca tulisan Cak Nur, secara sadar sedang prihatin melihat jauhnya etos keagamaan , sehingga masyarakat kita kurang peduli terhadap krisis kemanusiaan, seperti kelaparan, pengangguran dan kemiskinan.Secara mendasar, konsep agama humanis, merujuk dalam Al-Qur'an dengan kata-kata : wahai orang-orang yang beriman selalu dibarengi dengan beramal saleh. Ini bukti saat seseorang menyatakan dirinya beriman, ia juga harus beramal saleh, selalu peduli dengan kondisi sekitarnya.Dalam pandangan agama humanis, bersikap solider dengan saudara-saudara kita yang lemah dan miskin, tanpa membeda-bedakan, berarti itu realisasi dari agama. Prikemanusiaan itu menolak ketidakadilan. Sikap manusiawi berarti fairness dan cinta pada keadilan.Gagasan Cak Nur ini 'diamieni' oleh rohaniawan Kresten Franz Magnis Suseno. Menurut agamawan asal Jerman ini, prikemanusiaan tidak berarti mengeser Tuhan dengan manusia. Sama sekali tidak. Justru karena kita memuja Tuhan sebagai nilai dan norma tertinggi, kita bersikap humanis. Artinya kita menghormati manusia sebagai ciptaan-Nya.
Muncul pertanyaan, betulkah timbulnya krisis sosial ekonomi, yang mengantarkan rakyat menjadi busung lapar, menderita sakit jiwa, pedihnya kehidupan hingga mendorong hilangnya harapan dan akhirnya seperti yang sering kita dengar seorang ibu atau seorang anak yang tidak tahan, akhirnya nekat bunuh diri, ada hubungan dengan kadar keberagamaan masyarakat ?. Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transfor- masi nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari ?. Saya yakin, sebagian besar umat Islam tidak terima mendengar ucapan-ucapan terkait dengan rendah nya pengejawantahan moralitas agamanya.
Sayang, realitas kehidupan sehari-hari, kita jumpai banyak terbukti. Terlepas dari faktor-faktor lain yang melingkupi timbulnya krisis sosial, pikiran kaum agamawan humanis, secara kritis banyak benarnya. Lihat saja, warga makan nasi 'aking', bayi perut buncit karena kurang gizi, kemiskinan, kebodohan penderitaan tak tahu kapan berakhir, akibat krisis ekonomi dan sosial. Sementara, ironisnya, saudara seiman bergelimang harta lebih. Syiar agama semakin marak, para elite, artis-artis, hartawan banyak pergi umroh. Tidak itu saja, acara kumpulan massal, semacam 'Indonesia berdzikir', istighosoh, pengajian majlis taklim menjamur dan meriah. Itulah gambaran citra kesalehan masyarakat kita.
Namun, timbul pertanyaan yang mengganggu : mengapa kesalehan tidak berkaitan erat dengan keharmonisan sosial, ketentraman dan bahkan yang lebih substansif, seperti menurunnya tindak kriminal, korupsi, atau terciptanya keadilan sosial ? Islamkah kita bila dalam kehidupan sehari-hari, kita rajin sholat, puasa, sementara membiarkan tetangga sebelah tak bisa tidur karena kelaparan ? Islamkah kita bila dalam berekonomi usaha kita makin membesar karena yang lebih kecil kita tindas ? Islam kah kita bila dalam bekerja di kantor dengan jabatan empuk karena hasil dari sikut kiri kanan teman dan menjilat atasan ? Islamkah kita bila ongkos pergi haji, makan buka puasa didapat dari hasil korupsi ? Ungkapan kalimat sebagaimana dikutip diawal tulisan, dalam batas tertentu banyak benarnya.
Sebuah masyarakat relegius dan bertuhan mestinya lebih bisa mewujudkan nilai moralitas agamanya dalam hidupnya, dan bukan sebaliknya. Menyikapi kenyataan itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan renungan, berfikir untuk menemukan jawaban. Berbagai bentuk krisis soial, seperti kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, kriminalitas, korupsi hingga busung lapar yang tersebar di tanah air, menjadi bukti paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengejawantahkan nilai moralitas agama sebagai suatu kewajiban agama. Ironisnya, segala bentuk krisis sosial ekonomi itu, justru terjadi di negeri yang mengaku bertuhan dan mayoritas relegius.
Iktibar
Dalam konteks ini, keprihatinan Cak Nur tentang tidak berimbasnya ajaran agama dalam perbaikan kehidupan sosial menjadi beralasan. Maka, kita layak melakukan introspeksi diri : kira-kira sumba ngan apa yang dapat diberikan, sistem ritus atau ibadah kita bagi perbaikan krisis sosial ekonomi ? Adakah ibadah sholat, puasa, zakat dan haji, misalnya, secara mendasar terbukti memberi sumbangan besar bagi perbaikan kualitas hidup sosial umat ? Nyatanya, kita sering lupa, melalaikan kewajiban-kewajiban agama, yang sebenarnya sangat pokok, menjadi tolok ukur keimanan kita. Misalnya, kita berlomba naik haji sampai berkali-kali, tanpa melihat bagaimana tetangga sebelah kita masih butuh uluran bantuan kita. Ibadah haji sifatnya sangat individu, tidak bisa menyentuh kepentingan orang banyak. Dalam buku "Warisan Auliya" Fariduddin al-Attar menulis bahwa seorang sufi, Abdullah bin Mubarak dalam tidurnya mendengar dua malaikat berdialog tentang jemaah haji yang baru saja menunaikan ibadah haji di Tanah Suci. Abdullah terperanjat, ia bangun dari tidurnya dengan tubuh gemetar, karena diantara 600.000 orang yang naik haji tak satupun ibadahnya diterima oleh Tuhan. Padahal Abdullah termasuk didalamnya. Meskipun begitu menurut malaikat, ada tukang sepatu di Damaskus yang tinggal dirumahnya tetapi hajinya diterima. Abdullah penasaran, lalu diam-diam menyelidik ke Damaskus, tukang sepatu itu ternyata Ali bin Muwaffak, orang biasa tapi telah tiga puluh tahun menabung untuk naik haji. Ketika tiba naik haji, ia menemukan tetangganya yang hidup kelaparan, nelongso. Keluarga itu menderita serius, tiga hari tidak makan. Ali kaget, kemudian menyerahkan uang simpanannya selama tiga puluh tahun kepada keluarga itu.Bercermin pada cerita diatas, alangkah indah seandainya setiap musim haji mereka yang sudah naik haji tidak perlu berhaji lagi, tetapi uangnya digunakan untuk mensejahterakan umat. Inilah logika Ali bin Muwaffak seorang yang tidak jadi haji tetapi hajinya diterima. Naik haji bagi sementara orang adalah sesuatu yang mewah. Tapi apakah kita akan bermewah-mewah sementara di sekitar kita, saudara-saudara kita untuk sekedar makan saja 'senin kamis' ? Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya membe ri bukti nyata kepada umat bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dengan terpuruk nya kondisi sosial ekonomi. Sebagai akhir, saya kutipkan perbincangan Nabi Musa dengan Nabi Khaidir. Apa amalan yang langsung diterima oleh Allah swt. Kata Khaidir :" Pembebasan manusia dari kezaliman, memberi pakaian mereka yang telanjang, memberi makan mereka yang kelaparan, bukan ritual ibadah yang pada dasarnya adalah kewajiban manusia". Semoga….(Tulisan ini, pernah dumuat Radar Madura, edisi 7 Juli 2011)

Tidak ada komentar: