Dikirim : Mohammad Rusli Djamik
Diperkirakan potensi zakat tahun ini mencapai Rp.217 Trilium. Islamic Development Bank (IDB) menyatakan jumlah tersebut berasal dari rumah tangga sebesar Rp. 117 trilium dan perusahaan milik muslim sebesar Rp. 100 triliun. Angka ini naik dari proyeksi tahun 2010 yang hanya sebesar Rp. 100 triliun (Antara,19-8-2011). Ini baru dari sector zakat, belum lagi dari wakaf. Diperkirakan luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 1,5 milyar meter persegi atau 150 ribu hektar. Angka ini belum ditambah dengan tanah wakaf yang belum didata. Dari seluruh tanah tersebut, sepuluh persen memiliki potensi ekonomi tinggi, sisanya untuk bangunan masjid, pesantren, makam, rumah yatim piatu dan madrasah. Potensi ini sungguh luar biasa andaikata dikelola dan dimanfaatkan dengan cara yang lebih rasional dan proporsional. Namun sayangnya, potensi ini belum digunakan semaksimal mungkin untuk menanggulangi masalah umat, khususnya pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi lemah dan kesehatan. Selama ini, kita lihat, pemanfaatan ziswah, baru sebatas pada fungsi pemberian langsung dalam bentuk uang dan makanan kepada yang berhak. Sedangkan wakaf baru pada penggunaan bangunan masjid dan madrasah. Ini bisa dipahami, karena hal tersebut berdasar pada pemahaman agama secara skriptualis.
Cara-cara yang selama ini dilakukan, memang tidak salah, mengingat masih banyak warga negeri ini yang membutuhkan bantuan langsung dan segera. Sebab, jika mengacu pada patokan Bank Dunia, bahwa yang masuk katagori miskin adalah dengan pendapatan 2 dolar perhari, maka tahun ini diperkirakan terdapat 100 juta penduduk Indonesia masuk katagori miskin. Dan mereka berhak menerima bantuan dana zakat tersebut. Namun cara seperti ini harus dibarengi dengan upaya pemberdayaan yang lebih rasional, proporsional dan sistimatis menuju pengentasan kemiskinan yang lebih permanen. Artinya, dengan sebagian dana ziswah, mereka perlu diberdayakan agar supaya tidak terus menerus menjadi penerima zakat tetapi berubah menjadi pemberi zakat. Karena itu, perlu diagendakan pemberdayaan ziswah secara produktif, agar menjadi kesadaran kolektif umat Islam. Maksudnya, bahwa potensi ziswah tersebut perlu digerakkan bersama menjadi sektor ekonomi umat yang lebih produktif dan berkeadilan. Namun nyatanya pengelolaan ziswah yang produktif belum berlangsung sesuai harapan. Selama ini kendala yang cukup mendasar dirasakan dalam masyarakat bagi pemberdayaan ziswah produktif adalah, pertama, seperti disebutkan diatas, ada pemahaman yang belum utuh dalam masyarakat tentang ajaran pemberian ziswah itu sendiri. Selama ini dipahami lebih kepada aspek pemberian langsung kepada yang berhak, seperti fakir miskin, amil, orang yang berhutang (gharim), ibnu sabil, sabilillah, dan budak. Memang, prinsip ini tidak salah. Tetapi jika kita kaji lebih dalam maksud mendasar dari kewajiban membayar ziswah, terutama zakat, maka akan menemukan pentingnya semangat solidaritas pemberdayaan produktif umat secara lebih luas.
Kedua, terkait dengan manajemen pengelolaan ziswah masih bersifat parsial dan belum professional. Hal ini sangat berhubungan dengan kendala ketiga, yakni kurangnya sumber daya manusia yang mampu mengelola. Meski, ada sebagian organisasi ziswah yang dikelola secara professional seperti Yayasan Dakaf Al-Falah, Dompet Dhuafa Republika (DDR), namun hampir sebagian besar yang lain masih berasal dari kalangan masyarakat, seperti kiai atau ustad dan lain-lain yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi dalam mengelola ziswah secara produktif. Misalnya,dilihat dari kompetensi dalam aspek visi ke depan, inistif dalam menjalin kerja sama yang produktif dengan pihak lain dan seterusnya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara agar ziswah itu bisa menjadi dana revolving dan produktif, yang mampu mengentaskan penduduk miskin sebanyak-banyaknya? Hemat penulis, dana yang begitu besar itu, jangan melulu dihabiskan secara langsung. Bisa saja dua pertiga dari dana tersebut digerakkan untuk pemberdayaan masyarakat melalui sektor ekonomi riel. Seperti membuat program-program pendampingan masyarakat. Misalnya, membentuk kelompok peternak kambing, sapi di suatu desa. Kelompok budi daya pertanian. Pendirian lembaga dana masyarakat, semisal Baitul Maal Wattamwil (BMT). Koperasi dan lainnya. Dengan pendampingan ini, tentu tidak saja, mereka bisa diberdayaan dari aspek ekonominya,yaitu bagaimana memelihara dan merawat ternak dan pertanian tersebut, tetapi juga bisa dari aspek agama, social, politik. Semisal, melatih kemandirian, mengembangkan nilai kejujuran, kerja keras dan tanggung jawab. Dengan demikian, program pendampingan ini tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesalehan mereka, kesadaran mereka agar tidak selalu tergantung sehingga timbul rasa kepedulian mereka untuk membantu saudara lain yang masih dalam kondisi miskin. Selain itu, perlu pula ada gerakan perubahan pola pikir di kalangan umat khususnya pengelola ziswah, dalam rangka mendukung upaya diatas, yakni penerapan konsep kewirausahaan sosial dalam pengembangan dana tersebut. Belakangan konsep ini sudah banyak dikembangkan. Meski konsep ini banyak mengadopsi kewirausahaan bisnis, tetapi keduanya berbeda dalam orientasi. Meski keduanya sama-sama menerapkan prinsip bisnis dalam menjalankan usahanya, seperti prinsip efektif efisien, agresif dalam bergerak serta ambisi dalam usaha, namun ada perbedaan yang mendasar. Pada kewirausahaan social, usaha tidak semata hanya memperoleh keuntungan materi, uang, tetapi yang utama adalah misi social. Ini yang paling penting. Prinsip kewirausahaan social menerapkan usaha bisnis dengan orientasi pengabdian social dan kemaslahatan sebanyak mungkin umat, dilandasi kesabaran dalam menjalankan wirausaha, dan hasil akhir yang diharap bukan pada sebesarapa besar keuntungan materi atau uang namun yang mendasar adalah seberapa banyak masyarakat bias mengeyam manfaat dari wirausaha tersebut demi perbaikan kualitas hidup mereka. Karena itu, sudah saatnya semua komponen bangsa untuk mendorong pengelola ziswah, yang mengemban anamah dan kepercayaan dari masyarakat, memaksimalkan asset ziswah menjadi lebih produktif sehingga manfaatnya dirasakan lebih luas, kontinius, dan abadi. Dengan upaya ini ziswah bisa berperan menjadi solusi untuk mengentas masyarakat papa secara keseluruhan dan permanen. Amien. Wallahu a’lam bisshawab.
Diperkirakan potensi zakat tahun ini mencapai Rp.217 Trilium. Islamic Development Bank (IDB) menyatakan jumlah tersebut berasal dari rumah tangga sebesar Rp. 117 trilium dan perusahaan milik muslim sebesar Rp. 100 triliun. Angka ini naik dari proyeksi tahun 2010 yang hanya sebesar Rp. 100 triliun (Antara,19-8-2011). Ini baru dari sector zakat, belum lagi dari wakaf. Diperkirakan luas tanah wakaf di Indonesia mencapai 1,5 milyar meter persegi atau 150 ribu hektar. Angka ini belum ditambah dengan tanah wakaf yang belum didata. Dari seluruh tanah tersebut, sepuluh persen memiliki potensi ekonomi tinggi, sisanya untuk bangunan masjid, pesantren, makam, rumah yatim piatu dan madrasah. Potensi ini sungguh luar biasa andaikata dikelola dan dimanfaatkan dengan cara yang lebih rasional dan proporsional. Namun sayangnya, potensi ini belum digunakan semaksimal mungkin untuk menanggulangi masalah umat, khususnya pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan ekonomi lemah dan kesehatan. Selama ini, kita lihat, pemanfaatan ziswah, baru sebatas pada fungsi pemberian langsung dalam bentuk uang dan makanan kepada yang berhak. Sedangkan wakaf baru pada penggunaan bangunan masjid dan madrasah. Ini bisa dipahami, karena hal tersebut berdasar pada pemahaman agama secara skriptualis.
Cara-cara yang selama ini dilakukan, memang tidak salah, mengingat masih banyak warga negeri ini yang membutuhkan bantuan langsung dan segera. Sebab, jika mengacu pada patokan Bank Dunia, bahwa yang masuk katagori miskin adalah dengan pendapatan 2 dolar perhari, maka tahun ini diperkirakan terdapat 100 juta penduduk Indonesia masuk katagori miskin. Dan mereka berhak menerima bantuan dana zakat tersebut. Namun cara seperti ini harus dibarengi dengan upaya pemberdayaan yang lebih rasional, proporsional dan sistimatis menuju pengentasan kemiskinan yang lebih permanen. Artinya, dengan sebagian dana ziswah, mereka perlu diberdayakan agar supaya tidak terus menerus menjadi penerima zakat tetapi berubah menjadi pemberi zakat. Karena itu, perlu diagendakan pemberdayaan ziswah secara produktif, agar menjadi kesadaran kolektif umat Islam. Maksudnya, bahwa potensi ziswah tersebut perlu digerakkan bersama menjadi sektor ekonomi umat yang lebih produktif dan berkeadilan. Namun nyatanya pengelolaan ziswah yang produktif belum berlangsung sesuai harapan. Selama ini kendala yang cukup mendasar dirasakan dalam masyarakat bagi pemberdayaan ziswah produktif adalah, pertama, seperti disebutkan diatas, ada pemahaman yang belum utuh dalam masyarakat tentang ajaran pemberian ziswah itu sendiri. Selama ini dipahami lebih kepada aspek pemberian langsung kepada yang berhak, seperti fakir miskin, amil, orang yang berhutang (gharim), ibnu sabil, sabilillah, dan budak. Memang, prinsip ini tidak salah. Tetapi jika kita kaji lebih dalam maksud mendasar dari kewajiban membayar ziswah, terutama zakat, maka akan menemukan pentingnya semangat solidaritas pemberdayaan produktif umat secara lebih luas.
Kedua, terkait dengan manajemen pengelolaan ziswah masih bersifat parsial dan belum professional. Hal ini sangat berhubungan dengan kendala ketiga, yakni kurangnya sumber daya manusia yang mampu mengelola. Meski, ada sebagian organisasi ziswah yang dikelola secara professional seperti Yayasan Dakaf Al-Falah, Dompet Dhuafa Republika (DDR), namun hampir sebagian besar yang lain masih berasal dari kalangan masyarakat, seperti kiai atau ustad dan lain-lain yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi dalam mengelola ziswah secara produktif. Misalnya,dilihat dari kompetensi dalam aspek visi ke depan, inistif dalam menjalin kerja sama yang produktif dengan pihak lain dan seterusnya. Persoalannya sekarang adalah bagaimana cara agar ziswah itu bisa menjadi dana revolving dan produktif, yang mampu mengentaskan penduduk miskin sebanyak-banyaknya? Hemat penulis, dana yang begitu besar itu, jangan melulu dihabiskan secara langsung. Bisa saja dua pertiga dari dana tersebut digerakkan untuk pemberdayaan masyarakat melalui sektor ekonomi riel. Seperti membuat program-program pendampingan masyarakat. Misalnya, membentuk kelompok peternak kambing, sapi di suatu desa. Kelompok budi daya pertanian. Pendirian lembaga dana masyarakat, semisal Baitul Maal Wattamwil (BMT). Koperasi dan lainnya. Dengan pendampingan ini, tentu tidak saja, mereka bisa diberdayaan dari aspek ekonominya,yaitu bagaimana memelihara dan merawat ternak dan pertanian tersebut, tetapi juga bisa dari aspek agama, social, politik. Semisal, melatih kemandirian, mengembangkan nilai kejujuran, kerja keras dan tanggung jawab. Dengan demikian, program pendampingan ini tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesalehan mereka, kesadaran mereka agar tidak selalu tergantung sehingga timbul rasa kepedulian mereka untuk membantu saudara lain yang masih dalam kondisi miskin. Selain itu, perlu pula ada gerakan perubahan pola pikir di kalangan umat khususnya pengelola ziswah, dalam rangka mendukung upaya diatas, yakni penerapan konsep kewirausahaan sosial dalam pengembangan dana tersebut. Belakangan konsep ini sudah banyak dikembangkan. Meski konsep ini banyak mengadopsi kewirausahaan bisnis, tetapi keduanya berbeda dalam orientasi. Meski keduanya sama-sama menerapkan prinsip bisnis dalam menjalankan usahanya, seperti prinsip efektif efisien, agresif dalam bergerak serta ambisi dalam usaha, namun ada perbedaan yang mendasar. Pada kewirausahaan social, usaha tidak semata hanya memperoleh keuntungan materi, uang, tetapi yang utama adalah misi social. Ini yang paling penting. Prinsip kewirausahaan social menerapkan usaha bisnis dengan orientasi pengabdian social dan kemaslahatan sebanyak mungkin umat, dilandasi kesabaran dalam menjalankan wirausaha, dan hasil akhir yang diharap bukan pada sebesarapa besar keuntungan materi atau uang namun yang mendasar adalah seberapa banyak masyarakat bias mengeyam manfaat dari wirausaha tersebut demi perbaikan kualitas hidup mereka. Karena itu, sudah saatnya semua komponen bangsa untuk mendorong pengelola ziswah, yang mengemban anamah dan kepercayaan dari masyarakat, memaksimalkan asset ziswah menjadi lebih produktif sehingga manfaatnya dirasakan lebih luas, kontinius, dan abadi. Dengan upaya ini ziswah bisa berperan menjadi solusi untuk mengentas masyarakat papa secara keseluruhan dan permanen. Amien. Wallahu a’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar