selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal Aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. mari kita galang silaturahim untuk meyatukan gagasan demi kemajuan prenduan . hanya itulah bentuk terima kasih bagi tanah kelahiran yang telah membesarkan kita

24 Agustus 2011

PUASA ITU DAMAI

dikirim : Mohammad Rusli Djamik
Banyak sekali orang yang berpuasa tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali lapar dan dahaga. demikian stetemen Nabi Muhammad Saw. Benarkah? Mengapa? Benar!. Makna puasa menurut Imam Al-Syatibi, berarti Al-Imsak . artinya mampu mengendalikan diri atau mencegah hawa nafsu yang cenderung negative. Mampu menahan untuk tidak marah, mampu tidak melakukan tindak kekerasan, mampu tidak melakukan pemaksaan.
Salah satu fungsi Ramadhan, mendidik shoimin bisa mencapai keshalehan social, selain tentu shaleh secara individu. Karena itu, ramadhan sering disebut sebagai syahr al-Musawah, bulan solidaritas.
Namun sayangnya, setiap bulan ramadhan masih saja kita jumpai tindak kekerasan, sikap pemaksaan terhadap orang lain untuk menghormati orang yang sedang berpuasa. Masih kita lihat saudara sesama muslim hidup menderita kelaparan dan papa.
Benar, apa yang mereka lakukan punya dalih ‘dalam rangka menghormati sucinya bulan ramadhan’. Tetapi, secara hakiki, sikap kekerasan, pemaksaan, ‘kenyang sendiri’, ‘enak sendiri’ justru mereduksi makna puasa.
Sejatinya, hidup dan ibadah kita ini-kan sebenarnya hanya mencari ridhoNya. Bukankah kita sudah berikrar dalam dua puluh empat jam full bahwa hidup, sholat dan ibadah lainnya hanya untuk Allah Swt. Jadi bukan memaksa orang lain untuk menghormati ibadah kita. Bukan pula masa bodoh dengan penderitaan dan kemiskinan sesama.
Disisi lain, al-imsak juga bermakna tidak boleh ber-su’uddhon-ria, berprasangka buruk, berpikir negative terhadap orang lain. Warung nasi, tempat hiburan buka disiang hari, mereka kan berusaha mencari rejeki, orang-orang makan minum di terminal, mungkin mereka musyafir, tak luput dari tuduhan negative ini. Tukang warung, pemilik hiburan dituduh memberi ‘fasilitas’ bagi orang untuk tidak berpuasa.
Padahal, belum tentu orang masuk warung nasi dan tempat hiburan tersebut, identik dengan ‘setan’. Bukankah al-qur’an memberi pengeculian bagi musyafir, orang sakit, tua jompo, hamil menyusui, untuk tidak puasa, bahkan haram bagi perempuan yang haid dan nifas.
Bukankah kualitas iman yang baik adalah iman yang banyak godaan, bukan iman yang sepi ujian. Semakin kuat cobaan, dan kita lolos, makin berkualitas iman kita. Nah, bukti seberapa tebal keimanan kita, tercermin dari sikap toleran kepada sesama yang tidak berpuasa.
Sikap mudah menghakimi orang lain sesat, pembuat dosa, dan mereka harus diberantas tentu perlu dikaji ulang. Sebab hal itu sangat bertolak belakang dengan al-Qur’an dan al-Hadist.
Islam menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama, apalagi mempertanyakan kualitas iman seseorang. Islam bebas memilih, mau memeluk agama secara kaffah atau separuh-separuh ala kadarnya. Misalanya, islam hanya KTP, takut dicap tidak beragama, terserah. Namun, yang perlu diingat, bahwa semua apa yang kita perbuat akan dimintai pertanggungan jawab nanti.
Harus disadari, Islam mengajarkan bahwa dalam mengajak berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran (berdakwah) hendaknya dilakukan dengan cara yang baik, tanpa kekerasan. Nabi dan Rasul pun diutus Tuhan hanya sekedar untuk menyampaikan ajaran Tuhan kepada umatnya. Jika ada yang ikut, ya syukurlah, jika pun menentang, itu sudah bukan urusan Nabi dan Rasul, tetapi urusan Tuhan.
Jika Nabi dan Rasul sudah mencontohkan demikian, mengapa banyak umat Islam kini tidak bisa toleran terhadap sesama orang Islam? Al-qur’an mengajarkan bahwa sesama Islam adalah bersaudara, harus rukun dan damai. Nah, jika terhadap orang Islam sendiri begitu, apalagi kepada umat non muslim. Persoalannya adalah dimanakah misi Islam yang damai dan rahmatan lil alamin itu?
Sebenarnya dengan momentum puasa, sebagian orang Islam yang selama ini bersikap keras terhadap orang lain bisa menjadi lebih toleran, sabar dan damai. Tidak cepat-cepat menggunakan kekerasan fisik dalam bertindak.
Kita harus berpikir, bahwa Allah-lah yang menciptakan manusia dengan sebagian ada yang beriman dan sebagain yang tidak. Dan Allah melarang kita bahwa diri kita merasa paling bersih (baik), sebab sesungguhnya hanya Allah-lah yang maha tahu siapa hambanya yang paling taqwa. Wallahu aklam bissawab.
(tulisan ini pernah dimuat Radar Madura, edisi 18 Agustus 2011)

Tidak ada komentar: