selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal Aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. mari kita galang silaturahim untuk meyatukan gagasan demi kemajuan prenduan . hanya itulah bentuk terima kasih bagi tanah kelahiran yang telah membesarkan kita

22 Agustus 2011

FENOMENA POS MODERNISME

Oleh :Mohammad Rusli Djamik

Ada fenomena menarik di sepanjang jalan prenduan atau di tempat lain di Madura, pada saat merayakan hari kemerdekaan dan hari ulang tahun kota mereka masing-masing sejak lima tahun terakhir, yakni suasana serba ‘doeloe’ mulai dari pakaian yang dikenakan oleh pejabat sampai komponen masyarakat yang lain, gambar atau foto kota, jajanan (seperti nasi jagung, dan sebagainya), minuman, pakaian yang serba tradisional, pentas hiburan hingga warung-warung yang menjual makanan. Semuanya menggambarkan keadaan mereka tempo dulu. Animo masyarakat sangat antusias. Banyak warga kota berbondong-bondong untuk melihat agenda tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah tersebut. Tidak sedikit warga luar kota juga datang menyaksikan peristiwa unik tersebut.

Entah apa ihwal yang melatarbeIakanginya, tetapi rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ide penyelenggaraan kegiatan itu cukup baik. Masyarakat merasa terhibur dan untuk sementara waktu sebagai penghibur dan bisa melupakan persoalan-persoalan rutin setiap harinya yang sedang dihadapi.

Prenduan "bakto lamba'" diformat dalam suasana serba kuno dengan berbagai karaktersitiknya dengan aneka ragam makanan tradisional dengan setting suasana tradisional/pedesaan. Aneka makanan tradisional dan suasana ‘desa’ itu bukan sekadar makanan untuk dinikmatiya, tetapi juga di dalamnya aspek sosial budaya. Makanan bisa berceritera tentang status sosial pemakannya dan kondisi keluarga serta lingkungannya. Sebagai orang desa yang sudah sekian lama menikmati hidup “kemodernan”, saya selalu ingin mencicipi makanan kesukaan saya diwaktu kecil dulu. Serabi pisang dengan biddhang poka’. Ketika menikmati makanan tersebut memori masa kecil saya di desa puluhan tahun lalu tiba-tiba hadir kembali. Suasana bermain di desa ketika itu terbayang sangat jelas dan semuanya masih terekam dalam memori kolektif saya.

“Kehidupan adalah siklus”, demikian kata orang bijak. Orang yang terbiasa hidup tradisonal di desa ingin suatu kali menikmati suasana kemodernan kehidupan kota. Sebaliknya, yang terbiasa dengan kehidupan kota yang serba ‘modern’ suatu saat ingin kembali menikmati suasana hidup pedesaan. Rasa ingin kembali ke masa lalu sejatinya manusiawi saja. Biar sudah hidup di serba canggih dan menjadi pejabat atau orang terkenal, kita tetap orang 'loar prenduan' yang suatu saat ingin kembali ke akarnya (desa), karena sebagian besar wilayah kita adalah pedesaan.

Kerinduan terhadap masa lalu ingin dihadirkan. Ribuan warga kota tuplek blek menikmati suasana romantisme masa ‘lamba'’ tersebut. Setelah sehari-hari berkenalan dengan makanan dan suasana ‘modern’, toh akhirnya mereka rindu juga dengan masa lalu. Dengan bernostalgia mengenang masa lalu tidak berarti kita menjadi ‘oreng dhisah’. Kita tetap bisa mengikuti kehidupan modern, tanpa kehilangan rasa empati terhadap hal-hal tradisional. Menurut saya menjadi modern memang bukan berarti melupakan masa lalu, tetapi lebih berupa sikap hidup yang mengedepankan rasioanalisme.

Melihat peristiwa tersebut, muncul pertanyaan, gejala apatah ini? tentu ini fenomena post-modernisme? Apa itu post-modernisme? Di kalangan kaum intelektual, berkembang suatu cara berpikir dalam memandang fenomena budaya yang disebut ‘post-modernime’. Cara berpikir ini memberikan ruang cukup lebar kepada siapa saja yang sudah merasa muak atau setidaknya bosan terhadap pola kehidupan modern yang serba seragam, teratur, tertata, monoton, totaliter, rasional, dan kapitalistis sebagaimana kita rasakan selama ini. Orang-orang yang sudah merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti itu merasa mendapat perlindungan dari cara berpikir post-modernisme. Bahkan orang-orang yang selama ini terpinggirkan secara struktural dan sosial merasa terlindungi oleh payung post-moderisme.

Promotor gerakan pemikiran ini adalah para filsuf Perancis seperti Foucault, Lyotard, Derrida, dan Deleuze. Oleh Baudrillard, Rorty, dan Maclntyre. Cara berpikir baru ini dijadikan sebagai sebuah paradigma atau cara pandang untuk memahami gejala sosial dan budaya. Gerakan pemikiran post-modernisme sebenarnya merupakan upaya untuk mendelegitimasi modernitas yang mengandung suatu utopia atau cita-cita kemajuan (progress) sebagai dasar untuk mengukur perjalanan sejarah kehidupan. Di dalam utopia tersebut terdapat dua macam aliran pemikiran besar yang saling kontras, yakni Marxisme dan liberalisme. Marxisme melahirkan sistem politik komunisme dan liberalisme melahirkan sistem kapitalisme. Dari dua aliran pemikiran besar tersebut, dalam praktiknya komunisme tidak mampu bertahan seiring dengan runtuhnya Uni Soviet dan Negara Eropah Timur, kendati nilai-nilainya sebagai paham tetap saja hidup hingga saat ini.

Bagaimana pun harus diakui bahwa dua aliran pemikiran tersebut telah menjadi komando atau arah perubahan sosial. Kehidupan kapitalis telah menjadikan masyarakat materialistis yang mengukur kemajuan dari sisi kebendaan dan kepemilikan material. Lewat alam pemikiran post-modernsime sekat-sekat kepemilikan secara material dihapus. Post-modernisme mengedepankan kebersamaan dan menghilangkan praktik hegemoni kekuasaan. Sebab, di mata post-modernisme praktik kekuasaan melahirkan golongan yang terpinggirkan atau termarginalisasi. Tentu saja post-modernisme sangat dibenci oleh kalangan yang sudah mapan dan mempraktikkan kekuasaannya dengan leluasa.

Aktualisasi yang serba ‘Bakto lamba'’ telah memberikan gambaran bahwa hal-hal yang serba teratur, seragam, hegemonik, dan sejenisnya tidak bisa langgeng. Kehadiran berbagai makanan ala pedesaan yang serba tradisional telah menepis angapan bahwa makanan ala jajan pasar hanya makanan warga pedesaan dan kelas bawah. Lewat acara seremoni yang bernuansa masa ‘lamba'’ aneka ragam makanan desa itu dihadirkan dan dikonsumsi oleh kalangan pejabat/menengah ke atas. Menghadirkan rasa ‘lalu’ dan dalam suasana tidak formal, tidak diatur, tidak seragam, tidak dikomando, tidak ada kelas-kelas sosial sehingga semuanya tumpkek blek dalam arena panggung hiburan adalah gambaran jelas praktik post-modernisme.

Seiring dengan pertumbuhan kota yang demikian pesat, warga kota telah merasa hidup dalam suasana ‘urban’. Aneka fasilitas umum serba modern menjadikan masyarakat merasa jenuh.

Di tengah-tengah suasana ‘perubahan’ itu, warga modern ingin ‘kembali’ ke serba tradisional yang serba bebas dan tidak diatur. Oleh karena itu, semakin banyak warga yang hadir dalam acara ‘peringatan hari jadi kota’ semakin meneguhkan pemahaman bahwa masyarakat modern sejatinya sudah jenuh dengan kehidupan ‘urbanized’ yang wah dan modern. Semakin jelas pula terlihat bagaimana praktik post-modernisme telah hadir di Prenduan.(20-8-2011)

Tidak ada komentar: