selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal Aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. mari kita galang silaturahim untuk meyatukan gagasan demi kemajuan prenduan . hanya itulah bentuk terima kasih bagi tanah kelahiran yang telah membesarkan kita

24 Agustus 2011

Mencari Tahu Akar Krisis Moral

Oleh : Mohammad Rusli Djamik

Hampir setiap hari di televisi dan media massa menyajikan berita tentang perilaku kaum muda yang menyimpang dari norma-norma moral, sosial maupun agama yang mengakibatkan keresahan bersama. Mendengar dan melihat tindakan serupa, serta merta masyarakat berkata, “inikah tanda degradasi moral remaja kita?”

Sebut saja, contohnya kita jumpai remaja suka mabuk-mabukan, judi, mengkonsumsi narkoba, alkohol atau bahkan ada yang berani “mengompas” orang-orang yang lewat disekitarnya. Tak heran pula kita dengar siswi-siswi sekolah hamil di luar nikah akibat pergaulan seks bebas. Terakhir yang lagi ’ngetren’ prilaku kekerasan remaja, semacam tawuran antar pelajar, dan perilaku anak-anak supporter sepak bola di Surabaya (bonek) saat akan atau sehabis menonton sepak bola sungguh “menakutkan”. Perilaku bonek ini juga merambah ke kota-kota lain, seperti Malang, Jakarta. Tidak jarang mereka secara berkelompok memaksa menghentikan kendaraan yang lewat untuk ditumpangi tanpa peduli kendaraan itu mau kemana. Bahkan terkadang mereka juga meminta uang untuk sekedar beli minuman atau rokok kepada setiap orang yang ditemui dijalan. Selain itu, terlihat jelas kaburnya batasan moral baik-buruk termasuk membudayanya ketidakjujuran. Semua itu jelas merupakan perilaku yang tidak kita inginkan.

Persaingan hidup yang semakin keras, lunturnya moralitas, jadi pemicu orang cepat frustasi dan bertindak sesuka hatinya. Seperti, prilaku korupsi di kalangan elit politik dan birokrasi merupakan salah satu indikator kemerosotan moralitas bangsa. Budaya korupsi bukan hanya melanda di kalangan birokrat, tetapi juga di kalangan elit politik dari pusat sampai daerah. Kewenangan yang mereka emban justru lebih banyak dipakai untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompoknya. Kepentingan rakyat yang seharusnya mereka lindungi dan perjuangkan, mereka abaikan. Kasus ”Gayus” dan Makelar Kasus, Si burung ’Nazarudin’ yang saat ini sedang menjadi pembicaraan publik yang melibatkan oknum penegak ’keadilan’ jelas merupakan tindakan yang sangat kita prihatinkan.

Aneh tapi nyata namun patut disayangkan, dimana kaum muda yang nantinya bakal menjadi pemimpin bangsa di masa datang, tetapi realitanya memiliki kualitas moral yang rendah. Kita tidak bisa membayangkan seandainya bangsa ini nanti dipimpin oleh orang-orang yang tidak bermoral, mungkin negara ini akan semakin kacau.

Menyandang predikat sebagai calon pemimpin masa depan bangsa, serta merta menunjukkan betapa urgennya para remaja sebagai anak bangsa negeri ini.

Kalau demikian, krisis moral yang ditandai dengan perilaku destruktif di kalangan masyarakat, terutama generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik dan birokrat tentu mempunyai akar permasalahan yang bisa kita gali dan kaji lebih mendalam. Tanpa menemukan akar permasalahannya, akan sulit memberi solusi yang tepat untuk mengatasi krisis moral ini.

Terjadinya perilaku menyimpang dari generasi muda dan korupsi di kalangan elit politik dan birokrat memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang harus dibenahi dalam proses pendidikan kita. Mengapa? asumsinya bahwa para elit politik dan generasi muda telah menempuh pendidikan di sekolah mulai dari SD sampai ke SMA, bahkan hingga perguruan tinggi. Untuk itu, perlu dikaji, bagaimana dengan pendidikan karakter di sekolah?, apakah sudah terjadi proses pembentukan karakter di sekolah?, karakter seperti apa yang ingin dibentuk melalui pendidikan?, dan bagaimana cara membentuk karakter tersebut?

Pendidikan karakter

Sejatinya perilaku seseorang, tidak saja terbentuk dari hasil bawaan biologis orang tua, tetapi juga akibat hasil dari proses budaya dan pendidikan yang berlangsung di keluarga, masyarakat, dan sekolah. Tri pusat pendidikan ini (keluarga, masyarakat, dan sekolah) punya peran sangat besar dalam membentuk perilaku seseorang.

Keluarga adalah wadah pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak. Oleh keluarga, anak dikenalkan nilai-nilai yang diyakini dan dijunjung tinggi oleh keluarga. Kalau begitu, keluarga memegang peran sentral dalam membentuk karakter anak. Begitupun di sekolah, anak harus dikenalkan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, jika tidak anak tidak bisa memahami nilai-nilai yang ada di masyarakatnya, akibatnya mereka tidak bisa beradaptasi. Sebab salah satu fungsi pendidikan sekolah, kata Emile Durkheim, sebagai jembatan antara keluarga dengan masyarakat, sehingga pada saatnya mereka bisa hidup bersama (living together) secara damai.

Persoalanya adalah seperti apa pendidikan karakter itu? Makna pendidikan karakter sama dengan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak. Ia bertujuan mengembangkan potensi seseorang untuk memberikan keputusan baik atau buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Ia ingin agar anak mampu menilai apa yang baik dan jelek, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, dan mewujudkan apa yang diyakini baik walau dalam situasi tertekan dan penuh godaan.

Antara moral dengan karakter, keduanya menyatu. Artinya kualitas moral seseorang itulah karakter. Seseorang bermoral baik maka akan memiliki karakter yang baik pula. Ini terlihat dari prilaku sehari-harinya. Jadi sejatinya, seseorang yang berkarakter itu terpancar dari olah pikir, olah hati, olah raga, dan olah rasa dan karsa yang terwujud dalam prilaku baik dan mau berbuat baik.

Disekolah, untuk membentuk moral dan karakter anak bangsa, diantaranya diberikan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) -- saat orde baru namanya Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan agama. Dua mata pelajaran ini sejak SD sampai ke perguruan tinggi jadi materi dasar. Itu artinya, semua warga negara, termasuk mereka yang korupsi, berperilaku menyimpang, dan mengganggu ketertiban sosial, sudah memperoleh pendidikan kewarganegaraan dan pendidikan agama. Persoalanya, apakah ini bukti kegagalan pendidikan PKn dan agama khusunya dan mata pelajaran secara umum?

Benar adanya. Sebab yang berjalan di sekolah, Pkn dan Pendidikan agama, isinya hanya menekankan aspek kognitif daripada aspek afektif. Padahal, yang namanya pendidikan moral, harusnya lebih banyak berorientasi pada aspek afektif. Nyatanya yang terjadi, mereka lebih menekankan transfer pengetahuan dan keterampilan. Anehnya lagi, pendidikan tersebut tidak mengedepankan internalisasi nilai yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Termasuk juga teknik evaluasinya, masih bertumpu aspek kognitif, sehingga yang terbentuk di sekolah hanya transfer pengetahuan saja, dibanding mengajarkan berpikir secara keilmuan dan internalisasi nilai melalui pemahaman. Siswa hanya memiliki pengetahuan, tetapi tidak memahami nilai-nilai yang terkadung didalamnya. Padahal yang namanya pendidikan karakter harus menekankan aspek afektif, melalui pembiasaan dan keteladanan. Akibatnya pendidikan hanya menghasilkan manusia-manusia yang egois, yang tidak memahami arti kehidupan termasuk adanya perbedaan, nilai dan norma yang harus dihormati dan dijunjung tingi. Akhirnya, makna sejati dari pendidikan adalah menbentuk manusia yang utuh, bukan hanya cerdas , tetapi juga yang wisdom (bijak).

Sebenarnya, Pendidikan nilai menjadi tugas dan tangung jawab semua pendidik, tidak hanya guru PKn dan agama, karena setiap ilmu terkandung nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Sayangnya, tidak semua pendidik bisa mengindentifikasi nilai-nilai apa yang terkandung dalam setiap pengetahuan, dan bagaimana cara menginternalisasi nilai-nilai tersebut kepada murid, sehingga nilai-nilai tersebut dapat menjadi dasar bersikap dan bertindak dalam hidupnya.

Oleh karena itu, dalam rangka membangun karakter (moralitas) kepada peserta didik perlu ditanamkan nilai-nilai sosial, moral, dan personal. Nilai-nilai sosial seperti: suka monolong, menyayangi dan mengkasihi, empati dan simpati kepada penderitaan orang lain, menghormati hak orang lain, menghargai perbedaan, adil, menghargai kelebihan orang lain (memuji), dapat dipercaya, kesopanan. Nilai-nilai moral seperti: kejujuran, dan bertanggung jawab. Dan nilai-nilai personal antara lain kedisiplinan, kerja keras, dan prestasi.

Dengan demikian, dalam rangka membangun masyarakat yang beradab (civil society) dan mempersiapkan peserta didik memasuki kehidupan global, pendidikan nilai yang menjadi karakter bangsa menjadi sangat urgen. Pendidikan nilai harus ditanamkan sejak dini pada generasi muda baik melalui pendidikan keluarga, maupun sekolah, dengan suatu pendekatan yang lebih komprehensif dan integratif.

Masalahnya, bagaimana menjadikan lingkungan keluarga dan masyarakat, khususnya sekolah menginternalisasikan nilai-nilai moral tersebut kepada siswa sehingga bisa menjelma dalam kehidupan praksis sehari-hari.

Pertama, perlunya tekad bersama untuk terus menerus mengampanyekan nilai-nilai moral tersebut melalui cara sosialisasi. Sosialisasi adalah proses penyampaian nilai dari seseorang kedalam diri orang lain. Misalnya, nilai kejujuran, hendaknya para pendidik secara bersama, baik di rumah, masyarakat maupun di sekolah dapat mengimplementasikannya dalam hidup sehari-hari dengan cara memberi keteladanan praktik-praktik terbaik (best practices). Karena itu, peran guru, orang tua sangat penting dalam menyosialisakan nilai-nilai itu. Tak ketinggalan pula peran penting media massa dalam sosialisasi sangat dibutuhkan. Dengan sosialisasi yang kontiniu akan meneguhkan nilai-nilai moral tersebut.

Kedua, proses internalisasi nilai. Artinya proses masuknya nilai-nilai ke dalam diri seseorang sehingga menyatu dengan dirinya/mendarahdaging. Hal ini akan mudah dilakukan jika nilai-nilai moral, sosial dan personal itu telah menyatu dalam diri masing-masing anak didik. Orang yang sudah terinternalisasi nilai moral dan etika akan selalu bertekad untuk mewujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Internalisasi nilai itu memang tidak mudah, butuh waktu relatif lama, dan realnya sulit juga. Sebab selalu terjadi pertentangan antara nilai-nilai moral baik dengan buruk, sehingga mau tak mau seseorang harus memilih. Seperti kasus Ny. Siami dan anaknya Alif, mereka berani meski dimusuhi, karena tertanam kesadaran diri terhadap nilai-nalai baik.

Ketiga, galakkan pemberian reward and punishment (penghargaan dan hukuman). Buat gerakan nyata, dengan memberi penghargaan bagi orang yang melakukan nilai-nilai yang idealkan, dan sebaliknya berikan hukuman kepada orang yang mengabaikan atau mengingkari nilai-nilai tak diinginkan. Tidak pandang bulu, siapapun, dimanakapun dan kapanpun harus diterapkan.

Orang tua, guru, para pemimpin harus mengutamakan penghargaan dan hukuman ini. Termasuk juga masyarakat luas dan media massa. Jangan sampai terjadi, justru orang yang melanggar moral baik mendapat penghargaan dan yang berprilaku sebaliknya malah tak mendapat sanksi.

Keempat, khusus di komunitas sekolah, kembangkan nilai-nilai inti etika dan kinerja secara konprenhensif, yang mencakup cara berfikir (thinking), merasa (feeling) dan melakukan (doing). Ciptakan lingkungan yang memiliki kepedulian yang tinggi (caring) serta menyediakan ruang yang luas bagi siswa untuk melakukan tindakan moral (moral action). Dan tidak kalah pentingnya budayakan kondisi belajar etis yang selalu berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati, sehingga semua komponen di sekolah tercermin sosok teladan bagi siswanya dan lingkungannya.

Nah, apabila orang tua berwibawa, guru menjadi panutan dan pemimpin berlaku adil, jujur, sistem sekolah lebih menekankan pada aspek afektif dibanding yang lain dan media massa tidak menyajikan informasi yang mengadung pornografi, mengatasi degradasi moral remaja bukan hal mustahil. Sebaliknya, kalau kondisi saat ini masih saja tidak berubah, maka degradasi moral remaja kita bukan tidak mungkin akan bertambah parah. Semoga tidak.

Tidak ada komentar: