oleh: Veronika Gunartati
1. Prabowo dan Badai Mei
Mei 1998 adalah bulan yang harus tak boleh hilang dari
ingatan kita. Menjelang dan setelah Soeharto terjungkal dari
kekuasaan dikatator militeristiknya, kekacauan besar melanda Jakarta. Empat
mahasiswa Trisakti ditembak pada 12 Mei. Dan sesudahnya eskalasi kekacauan membesar. Di
berbagai tempat terjadi penjarahan, pemerkosaan dan pembakaran. Sutiyoso, waktu itu Gubernur DKI, mengumumkan
bahwa sedikitnya 4.939 bangunan rusak dibakar dan 500 orang
tewas. Kerugian material dan immaterial sugguh tak terperi.
Situasi Jakarta
tak terkendali. Habibi sebagai wakil presiden tak berani mengambil
keputusan untuk mengambil alih kendali sementara Priseden dan rombongannya
sedang melawat ke Mesir. Pada saat genting itu hampir semua jenderal yang seharusnya bertanggung jawab mengamankan
jakarta tak ada di tempat. Sebagian besar mereka pergi ke Malang menghadiri
serah terima tanggung jawab Pasukan Pemukul Rekasi Cepat (PRRC) dari Divisi 1
kepada Divisi II Kostrad. Aneh bahwa mereka semua tidak mengetahui bakal ada
keusuhan besar.
Pada 21 Mei Presiden Soeharto mundur dari kekuasaan dan menyerahkan
kepada Habibi. Sintong Panjaitan yang
semula merupakan penasihat wapres bidang hankam naik pangkat menjadi penasihat
presiden bidang hankam.
Keesokan harinya Kivlan Zein dan Muchhdi PR diminta oleh
Parnglima Kostrad Letjend Prabowo Subianto untuk menyampaikan surat yang
ditandatangani oleh Jenderal A.H. Nasution kepada presiden. Keduanya diterima
oelh Sintong. Surat itu berisi saran agar Subagyo HS diangkat menjadi Panglima
ABRI dan, Wiranto sebagai menteri Hankam dan Prabowo sebagai KSAD.
Ternyata kemudian dalam bukunya Kivlan Zein mnegakui bahwa Jenderal A.H. Nasution hanya menadatangani saja. Surat ditulis tangan oleh Kiivlan Zein sendiri karena Jenderal Nasution sedang sakit. Jadi tanggal 22 Mei pagi itu, Prabowo meminta Kivlan dan Muchdi PR untuk menemui Jenderal Nasution dan membuat surat kepada presiden. Habibi diketahui sangat menghormati Nasution.
Pagi itu pula. Wiranto melapor kepada presiden bahwa ada
pergerakan pasukan Kostrad dari luar Jakarta ke Jakarta di luar
sepengatahuannya. Konsentrasi pasukan juga ada di Patra Jasa, Kuningan, di
sekitar kediaman Habibi. Habibi menganggap Wiranto jujur. Maka ia memerintahkan
jabatan panglima Kostrad yang dipegang Prabowo harus diserahterimakan pada hari
itu juga. Padahal Prabowo baru memegang jabatan itu selama 63 hari.
Mengetahui dirinya diganti, Prabowo mendatangi istana
pada pukul 15.00 dengan membawa 12 pengawal. Setelah menanyakan keberadaan
presiden, Prabowo langsung menuju lantai dasar seterusnya naik lift ke lantai
4. Ia masih bersenjata lengkap. Tak seorang pun petugas menahannya. Mestinya
semua orang yang akan bertemu presiden disterilkan dulu di lantai dasar.
Sintong kemudian meminta seorang pengawal presiden untuk mendekati Prabowo dan
memintanya menanggalkan senjatanya. Untungnya Prabowo bersedia. Ia membuka
kopel tempat menambatkan pistol, magasin peluru, pisau rimba dan peralatan
lain.
Prabowo diterima oleh Habibi. Saat ini ia minta kepada
presiden untuk dihubungkan dengan Panglima ABRI. Saat itu seorang ajudan segera
akan menghubungi Wiranto, tetapi Sintong beranggapan hal ini tidak etis. Maka
ia melarang ajudan melakukannya.
Kedatangan Prabowo ke istana pada kukul 15.00 itu aneh,
sebab mestinya ia harus melakukan serah terima jabatan. Kata Sintong kepada
KSAD, Jenderal Subagyo HS, “Kalau KSAD tidak melakukan penggantian Prabowo
sesuai perintah, maka kalian jadi satu paket.” Maksudnya KSAD juga akan
diganti. Maka, saat itu juga KSAD mencari Prabowo. Sore itu dengan sikap hormat
Prabowo menghadap KSAD dengan sikap hormat meski tetap dengan senjata di
pinggangnya.
Tidak lama kemudian, Prof. Soemitro Djojohadikusumo, ayah
Prabowo, minta mengahadap presiden. Atas saran Sintong, sebaiknya presiden menolak bertemu langsung dan
berbicara hanya lewat telepon saja. Presiden menerima saran itu. Apa isi
pembicaraan mereka berdua, pasti orang banyak akan paham.
Sehubungan dengan penggantian Prabowo ini, Sintong
Panjaitan menolak tegas tuduhan bahwa ia adalah otak di belakangnya. Ia
mengatakan bahwa ia hanya mendukung segala sesuatu yang diputuskan oleh
presiden sesuai kapasitasnya sebagai penasihat bidang hankam.
2. Prabowo dan kudeta
L.B. Murdani
Kalau Prabowo terlibat dalam kasus penculikan aktivis
pada 1998, sebenarnya benih karakter tersebut sudah tumbuh jauh sebelum masa
itu. Tahun 1983 Luhut Panjaitan, waktu itu berpangkat mayor dan Prabowo, kapten
waktu itu, merupakan dua orang yang menduduki jabatan komandan dan wakil
komandan Detasemen 81/ Antiteror. Satuan elit ini selalu mendapat pasokan
informasi intelijen oleh staf Intelijen Hankam.
Karena kedua badan ini saling erat terkait, maka Luhut hampir mengetahui
semua gerak-gerik L.B. Murdani sebagai Asintel Hankam.
Pada bulan Maret 1983, menjelang SU MPRR, Luhut
dikejutkan oleh laporan anak buahnya bahwa Den 81/Antiteror sedang dalam status
siaga atas perintah Kapten Prabowo Subianto. Mereka berencana untuk “mengambil”
jenderal L.B. Murdani dan beberapa nama lagi termasuk : Letjen Sudharmono,
Marsdya Ginanjar Kartasasmita, dan Letjen Mordiono. Kepala Kasi2/Ops bahkan
menerangkan bahwa mereka telah membuat rencana untuk mengamankan Presiden
Soeharto ke markas Den81/Antiteror di Cijantung.
Luhut merasa aneh, bahwa ada permasalahan besar seperti
itu, tetapi ia sebagai komandan tidak tahu apa-apa. Ia memerintahkan anak
buahnya kembali “siaga ke dalam”. Senjata dan radio para anggota dikumpulkan di
dalam kemar kerjanya. Ia tidur di kantor malam. Itu.
Prabowo ia panggil. Kepadanya Prabowo menjelaskan bahwa
L.B. Murdani akan melakukan kudeta. Seluruh ruangan Den 81/Antiteror telah
disadap. Bahkan L.B. Murdani telah memasukkan senjata ke Indonesia. Tentu saja
Luhut tidak percaya. Tapi ia ingat betul satu kalimat Prabowo saat itu, “ Bang,
nasib negara ini ditentukan oleh seorang kapten dan seorang mayor .”
Luhut melaporkan masalah “kudeta” pada Sintong Panjaitan,
Komandan Grup 3/ Sandiyudha. Oleh Sintong, Luhut disarankan melapor kepada
Brigjen Jasmin, Danjen Kopassandha. Berdua, Sintong dan Prabowo menhadap Pak
Jasmin. Pak Jasmin tidak percaya laporan Prabowo, sehingga Prabowo marah-marah.
Kemudian sekali lagi Pak Jasmin memanggil Luhut masuk ke ruangannya, sendirian
tidak bersama Prabowo. “Ada apa dengan Prabowo ? Tampaknya ia stress berat.
Tahan pasukanmu. Jangan ada yang bergerak !” demikian Brigjen Jasmin.
Susudah kembali ke markas di Cijantung, Luhut menegur
Prabowo dan menekankan kedudukan dirinya sebagai komandan dan Prabowo sebagai
wakil komandan. Ia menghadap
Prof. Sumitro, ayah Prabowo, untuk
memberi tahu bahwa Prabowo diberi cuti dua minggu. Alasannya Prabowo stress karena terjadi situasi di Cijantung
yang “kurang pas”. Prof. Sumitro bisa memahami.
Sintong tahu peristiwa ini lebih detil sesudah bertemu
Brigjen Jasmin di Kariango, Makasar. Brigjen Jasmin bercerita bahwa Prabowo
mengatakan kepadanya bhw L.B. Murdani akan melakukan kudeta. Karena itu Prabowo
akan melakukan gerakan pasukan untuk menangkap L.B. Murdani dan beberapa
perwira lainnya. Karena Brigjen Jasmin tidak percaya, Prabowo menuduh
Brigjen Jasmin tidak setia negara dan bangsa. Itu dikatakan sambil
menuding-nudingkan telunjuk ke wajah Brigjen Jasmin. “Bahkan Luhut yang
menurunkan tangan Prabowo, “ tambah Jasmin. Lebih parah lagi Prabowo mengintai
rumah Brigjen Jasmin sampai melompati pagar rumahnya.
Kebenaran cerita Brigjen Jasmin ini dibenarkan oleh
Marsdya Teddy Rusdi, pejabat Assiten Perencanaan Umum Panglima Tinggi ABRI.
Teddy Rusdi telah mendampingi L.B. Murdani selama 20 tahun sejak lulus dari
Seskoal. Teddy mengatakan rumahnya juga diintai oleh Prabowo sebab Prabowo
menyangka di rumah Teddy sedang dilakukan persiapan kudeta oleh L.B. Murdani.
Kata Sintong dalam bukunya, adalah benar bahwa L.B.
Murdani memasukkan senjata ke Indonesia tetapi sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kudeta. Senjata itu antara lain buatan Israel dan Perancis yang dibeli dari Taiwan untuk dijual kepada Pakistan dan
nantinya akan disalurkan untuk pejuang Mujahidin di Afganistan. Operasi
intelijen oleh L.B. Murdani digunakan untuk mencari dana dan peran Indonesia
bagi perjuangan di Asia.
Menurut Sintong Panjaitan, tuduhan kudeta ini sama sekali
tidak berdasar. Tuduhan dilontarkan oleh seorang kapten yang “sakit” dan tidak
punya perangkat untuk menyelidiki kebenaran. Mestinya terhadap Prabowo diambil
tindakan. Namun kenyataannya ABRI tidak berani mengambil tindakan karena segan
terhadap Soeharto yang mungkin saja akan membela menantunya.
Tentu saja segala peristiwa yang menyangkut dirinya itu
diketahui oleh L.B. Murdani sendiri, meski peristiwa itu tidak diperpanjang. Tetapi peristiwa itu merupakan titik awal di mana
hubungan L.B. Murdani dan Prabowo tidak pernah lagi menjadi baik. Bahkan
beberapa saat kemudian hubungan Luhut Panjaitan dan Prabowo juga ikut memburuk
terutama karena kasus pembangunan jaringan intelijen di Den 81 / Antiteror.
Luhut juga dilaporkan kepada Suharto:
sekali lagi ….. akan melakukan kudeta kepada Soeharto!
Perkembangan selanjutnya di lingkungan ABRI dikenal
adanya “debennysasi”, orang-orang yang dekat dengan L.B. Murdani dibersihkan
dari peran-peran strategis. Luhut yang mencapai pangkat jenderal bintang tiga
pun tidak pernah menduduki jabatan pangdam bahkan kasdam pun tidak pernah.
Sintong Panjaitan juga merasakan hal yang serupa. Ia
mencermati dan menyimpulkan bahwa pada waktu itu setidaknya ada tiga kelompok
dalam ABRI. Pertama adalah kelompok yang dekat dengan Soeharto, kedua adalah
kelompok yang biasa saja dan ketiga adalah kelompok yang dekat dengan L.B.
Murdani. Yang terakhir ini adalah kelompok yang kurang dipercaya oleh Soeharto.
Apabila kelompok pertama membuat kesalahan mereka selalu dilindungi, kalau
kelompok kedua fifty-fifty, kalau kelompok ketiga tiada maaf bagimu. Sintong
sendiri menilai kedekatan dirinya dengan semua atasannya termasuk L.B. Murdani
sebagai sikap prajurit yang profesional.
Ia juga dekat dengan Try Sutrisno, Edy
Sudrajat dll.
Sumber:
Judul Buku : Sintong Panjaitan, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando
Penulis: Hendro Subroto dengan pengantar Prof. Taufik
Abdullah
Penerbit : Kompas, Jakarta, April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar