selamat hari raya idul fitri 1432 H. Minal Aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dan batin. mari kita galang silaturahim untuk meyatukan gagasan demi kemajuan prenduan . hanya itulah bentuk terima kasih bagi tanah kelahiran yang telah membesarkan kita

9 September 2011

EKOSISTEM PESISIR PRENDUAN MENGKHAWATIRKAN

Oleh : Moh. Rusli Djamik

Prenduan dengan garis pantai sepanjang sekitar 1000 m memiliki banyak potensi sumber daya pesisir dan kelautan yang bisa dikelola secara optimal. Hampir sebagian besar aktivitas masyarakatnya terkonsentrasi di pesisir; seperti mencari ikan, mengelola hasil perikanan, budi daya ikan dan lainnya. Dengan wilayah yang cukup luas, kawasan pesisir terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti habitat hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah, memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumber daya alam lainnya seperti ikan, dan biota laut. Potensi demikian besar itu tentu memberikan peluang yang signifikan terhadap terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan seperti usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman, pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan.

Letak wilayah pesisir menyebabkan tingginya tingkat keterkaitan dan saling mempengaruhi antara ekosistem di daratan dengan ekosistem di pesisir. Hal ini mengakibatkan wilayah pesisir sangat rentan terhadap berbagai dampak kegiatan yang dilakukan di daerah sekitarnya. Pemanfaatan sumber daya yang terdapat di daratan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dapat memberikan kontribusi dan keuntungan finansial yang sangat besar. Namun apabila pemanfaatan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan permasalahan lingkungan maka dampak berupa kerusakan lingkungan yang ditimbulkannyapun akan sangat besar.

Sebagai contoh, penebangan hutan mangrove secara liar untuk dikonversikan menjadi usaha pembuatan lahan untuk usaha dan perumahan penduduk, seperti kita lihat sepanjang garis pantai selatan; menyebabkan kerusakan dan terputusnya siklus hidup sumber daya ikan dan udang disekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Rusak atau hilangnya hutan mangrove mengakibatkan pula abrasi pantai yang dapat menyapu pemukiman penduduk dan pada akhirnya justru akan menghancurkan kehidupan mereka sendiri dikemudian hari. Selain itu dengan hilangnya mangrove, intrusi air laut akan semakin mudah meluas ke arah daratan dan menyebabkan sumur-sumur air tawar tidak lagi dapat dimanfaatkan.

Berbagai macam dampak negatif yang diakibatkan oleh hilangnya mangrove harus ditanggung oleh masyarakat setempat. Masyarakat setempatlah yang terutama harus merasakan intrusi air laut ke dalam sumber-sumber air tawar, berkurangnya hasil tangkapan ikan dan udang, pengaruh abrasi pantai, serta lingkungan pantai yang gersang.

Realitas diatas, tampak bahwa peran dan partisipasi masyarakat setempat yang kehidupannya sangat tergantung kepada sumber daya alam di wilayah tersebut sangat penting untuk disadarkan akan perannya terhadap lingkungannya. Untuk dapat meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat maka keterlibatan perguruan tinggi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki pengalaman dan kemampuan teknis yang cukup menjadi sangat penting. Dengan kapasitas dan kapabilitas yang baik, lembaga-lembaga dapat menjadi mitra pendamping bagi masyarakat wilayah pesisir untuk mencari, menentukan dan menjalankan pola-pola pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan sesuai dengan kearifan local setempat.

Oleh karenanya, kemitraan diantara stakeholders utama (pemerintah dan masyarakat serta perguruan tinggi) dalam pengelolaan wilayah pesisir khususnya pelestraian hutan mangrove merupakan hal penting yang harus digalang untuk mencapai pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan.

Mengingat rentannya sumber daya pesisir terhadap berbagai kerusakan, bencana dan degradasi, diperlukan system pengelolaan yang terpadu dan berkelanjutan agar sumber daya pesisir tidak habis dan dapat dinikmati terus oleh anak cucu.

Persoalannya adalah apakah selama ini pemanfaatan sumber daya pesisir dan pembangunan pesisir sudah terencana dengan baik?

Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur dengan tegas bagaimana menjaga kelestarian ekosistem pesisir meliputi perlindungan ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, daerah estuary. Dengan aturan ini pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pengelolaan kawasan pesisir harus membuat rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi. Yang menjadi persoalaan sudahkah pemerintah daerah di Prenduan (Madura) telah membuat rencana-rencana diatas.

Menurut penulis, Pemdes khususnya dan umumnya pemerintah-pemerintah kabupaten di Madura secara khusus belum memiliki keempat rencana dalam mengelola wilayah pesisir dan laut itu. Memang ada peraturan daerah (perda) yang berhubungan dengan pengelolaan wilayah pesisir, seperti Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun tidak spesifik seperti yang diinginkan undang-undang.

Lalu, bagaimana melakukan pengelolaan sumber daya pesisir melihat sudah banyak kerusakan lingkungan yang nyata-nyata berada didepan mata seiring dengan aturan hukum yang mendasari.

Menurur penulis pertama, untuk mencapai pengelolaan sumber daya alam terpadu diperlukan adanya regulasi perdes, peraturan daerah (perda) seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang no. 27 tahun 2007. Adanya payung hukum akan memberi dasar dan arah bagi pengelolaan sumber daya alam. Hanya perlu diperhatikan saat pembuatan peraturan tersebut dalam tahapannya perlu melibatkan segenap elemen yang kompeten seperti para pakar dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang konsen pada pengelolaan sumber daya pesisir dan tak kalah penting melibatkan tokoh masyarakat yang peduli pada kelestarian lingkungan pesisir.

Kedua. Perlunya rasa peduli dan aktif dari masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Masyarakat harus dilibatkan dan diajak, mulai dari tahap perencanaan sampai implementasi program. Sebab masyarakat juga punya hak partisipatif didalamnya. Setiap tahap terlebih dulu dikonsultasikan pada masyarakat/public. Agar perencanaan itu komprehensif perlu data dan informasi, kajian kritis dan evaluasi rencana pengelolaan pendukung. Hal ini tentu butuh keterlibatan lembaga penelitian perguruan tinggi.

Ketiga, bila rencana pengelolaan telah dibuat secara matang, maka perlu ada lembaga yang akan melakukan perencanaan dan pengelolaan itu. Lembaga tersebut betul-betul focus pada tugas pokok dan fungsinya dan tidak menangani selain pada pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, seperti dinas kelautan dan perikanan.

Keempat, segera buat sebanyak mungkin peraturan-peraturan daerah yang mendukung terhadap pelestarian ekosistem pesisir khususnya perlindungan terhadap hutan mangrove. Selain itu, aturan yang tegas untuk melindungi masyarakat bila melakukan pernyataan menolak dan bahkan melakukan class action terhadap pemerintah atau pihak lain yang nyata-nyata membawa dampak negative bagi kehidupan dan lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya ada pembangunan atau aktivitas yang ditemukan bakal merusak lingkungan pesisir atau melanggar terhadap peraturan yang telah dibuat.

Kelima, yang tak kalah penting membentuk rasa sadar ikut bertanggungjawab dari masyarakat untuk menjaga, melindungi dan memelihara kelestarian ekosistem pesisir. Artinya masyarakat tidak boleh merusak habitat, menebang mangrove dan lainnya. Untuk mengawasi terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat perlu adanya control dari pemerintah setempat; seperti tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Semua harus dilibatkan untuk mendukung penegakan hukum pada setiap pelanggaran yang terjadi.

Tanpa adanya sinergi antara semua elemen dan pihak terkait diatas mustahil pengelolaan sumber daya pesisir di Prenduan (Madura) akan berhasil sebagaimana yang diharapkan dan jika tidak, yang terjadi berikutnya anak keturunan kita hanya dapat warisan buruk akibat kelalaian generasi kita.

Tidak ada komentar: